Thursday, November 12, 2009

AKAN JADI APAKAH SEORANG TEMAN

Aku duduk di kursi tua, di beranda rumahku sore itu. Dengan penuh kegembiraan, kubuka surat bersampul putih yang diberikan oleh Pak Pos sore itu. Aku sudah sangat hafal dari siapa surat itu berasal. Hanya ada satu nama yang selalu muncul di setiap minggu.
Baris per baris kubaca, dan akupun terduduk diam seribu bahasa. Airmataku berlinang dan perasaanku berkecamuk tak karuan. Kubaca lagi surat itu, namun aku memang tak salah baca, “nduk… relakan aku untuk menjadi seorang imam”. Sebaris kalimat yang mencabik hatiku. Kalimat itu ditulis oleh seorang pemuda yang selama hampir dua tahun telah mewarnai hidupku dan memberikan banyak perspektif dalam memandang hidup.

Namanya begitu melekat dalam hatiku, berawal dari sebuah pertemanan yang sederhana dan tetap berjalan dalam kesederhanaan. Acara pekan pelatihan budaya yang diadakan oleh kampusku telah menjadi media perkenalanku dengan dia. Dia adalah salah satu mahasiswa tamu yang mengikuti acara pelatihan di kampusku.
Aku tidak tahu kenapa kami bisa menjadi begitu dekat. Setiap siang, ketika teman-teman beristirahat, kami justru meluangkan waktu untuk duduk berdua di atas bebatuan sungai. Tak jemu-jemunya kami menikmati aroma alam, rumput yang bergoyang diiringi kemercik air. Alunan gitarnya sesekali memecah keheningan alam. Cerita-cerita dari mulutnya seakan menjadi menu yang sangat mengundang selera.

Seminggu berlalu pelatihanpun selesai, artinya kamipun harus berpisah. Dia merangkulku tanpa kata. Aku tak mampu menterjemahkan arti tatapan matanya saat itu. Diapun akhirnya harus kembali ke kota asalnya. Secara jarak kami terpisah, tetapi tidak untuk soal kedekatan hati. Kami merasa bahwa jarak geografis bukan tembok pemisah bagi kami.
Kesederhanaan, keunikan, kepedulian dan juga kejujurannya dalam melihat hidup telah menghipnotisku untuk menempatkannya dalam ruang yang istimewa dalam hatiku. Tapi aku tak berani untuk menyematkan predikat apa padanya: teman, sahabat, kekasih atau kakak? Kami tak terlalu peduli dengan soal itu.

Puisi-puisi yang mengungkapkan kejujuran hati, menjadikan benang yang terus merajut hati kami hingga makin hari makin menyatu. Peristiwa demi peristiwa yang kami alami dalam hidup seakan tak kan terlewat. Kegelisahan kami ketika bersentuhan dengan kehidupan masyarakat pinggiran semakin membawa kami pada orientasi hidup yang sama. Kami tak pernah menyadari kapan kami saling jatuh cinta, atau apakah benar kami memang saling jatuh cinta? Yang kami rasakan hanyalah kami semakin tergantung satu sama lain. Saat kami merasakan bahwa kesederhanaan pertemanan kami mulai bergeser, dia mengisyaratkan “cinta dan nafsu ingin menguasai itu sangat tipis sekali jaraknya, kita harus bisa membedakannya”. Tetapi bagi orang yang sedang jatuh cinta tentu akan sulit membedakan hal itu, atau bahkan menjadi tidak peduli. Mungkin aku juga sedang jatuh cinta, sehingga aku tidak peduli. Aku terbuai dengan keindahan kasih sayang yang kurasakan. Setiap hari yang kurasakan hanya keindahan hidup. Puisi, syair dan segala karyanya menjadi mozaik unik yang mengukir kasih sayang sepasang anak muda yang sedang mengejar idealisme.

Saat dia memberi khabar bahwa dia akan kembali datang mengunjungiku, betapa dunia saat itu menjadi sangat hangat sehangat mentari pagi yang menyapa setiap makhluk di jagat raya. Bunga-bunga bermekaran di jiwaku untuk menyambutnya kembali. Satu puisi ingin kuhadiahkan baginya:

Saat matahari tak lagi bersinar
Dan kegelapan menyelimuti bumi
Angin malam menyapu jiwaku.
Aku mengirim doa dan harapku untukmu

Kulalui malamku dengan sebuah ketaksabaran
Setiap dentang waktu kuhitung tanpa lelah…
Hanya ada satu harapan
Kembalilah kau, embun pagiku…….
Teteskanlah kesejukan dalam dahagaku
Lembutkanlah gersangnya hatiku..

Embun pagi, aku selalu menunggumu
Untuk kembali menikmati kilaumu
Meski hanya sekejap mata
Hingga akhirnya mentari pagi melenyapkanmu kembali

Dan kembali kusematkan harapan baru
Tuk menyambutmu kembali di saat pagi
Meski kutak pernah tau
Akankah embun pagi kan datang kembali untukku
Hanya keyakinanku mengantarku pada sebuah harapan yang tak pernah sirna

Aku tidak pernah tahu dan juga tak penah punya alasan mengapa aku menulis puisi itu. Tanganku menulis dan merangkai kata mengikuti alunan hatiku. Ternyata ada kenyataan yang harus kuterima dari makna puisiku. Kedatangannya menemuiku untuk mengatakan betapa dia sangat mencintaiku, namun sekaligus betapa inginnya dia hidup dekat dengan Yesus. Dua kenyataan yang disajikan bagiku untuk kucerna dalam kehidupan remajaku. Kenyataan yang meruntuhkan mimpi-mimpi indah masa remajaku. Kenyataan yang memaksaku untuk melihat hidup dengan perspektif yang lepas dari kelaziman masa remaja.

Theng….!! Dentuman jam dinding tua jaman Belanda itu mengagetkanku. Aku terbangun dari lamunanku.
Aku tersadar pada perjalanan panjangku, dan kembali kubertanya “aku harus bahagia atau menderita?” Apakah cinta harus mati hanya karena sebuah perbedaan pilihan hidup?? Bukankah cinta sebenarnya adalah energy yang menghidupkan?? Kesejatian cinta mestinya mampu membuatku untuk tetap mencintainya dalam perbedaan itu sehingga aku bisa melihat indahnya cinta yang telah teruji. “Mantaplah dalam langkahmu, kurelakan dirimu untuk menjalani pilihanmu, tanpa kuharus kehilangan cinta sedikitpun”. Itulah doaku untuk seorang yang selalu ada bagiku dalam hadir dan ketidakhadirannya. Dan akupun melarutkan diri dalam keheningan jiwaku serta terus belajar mencerna kenyataan-kenyataan yang tersaji bagiku dengan aneka rasa yang sering tak pernah terbayang olehku.

2 comments: